Salah satu aspek yang dilihat saat
menilai kualitas kamera digital adalah sensornya. Kita tahu sensor pada kamera
digital adalah rangkaian peka cahaya, tempat gambar dibentuk dan dirubah
menjadi sinyal data. Tidak semua kamera digital punya ukuran sensor yang sama.
Sesuai bentuknya, kamera digital yang kecil umumnya pakai sensor yang juga
kecil, sedangkan kamera mirrorless dan DSLR memakai sensor yang lebih
besar. Sensor dengan luas penampang sama dengan ukuran film 35mm disebut sensor
full frame.
Mengapa penting untuk mengenal ukuran sensor di kamera
digital? Karena ukuran sensor berkaitan dengan kemampuan menangkap cahaya dan
menentukan bagus tidaknya hasil foto yang diambil. Sekeping sensor pada
dasarnya merupakan sekumpulan piksel yang peka cahaya, saat ini umumnya
sekeping sensor punya 10 juta piksel bahkan lebih. Makin banyak piksel, makin
detil foto yang bisa direkam. Tapi saat bicara kualitas hasil foto, kita perlu
mencari lebih jauh info ukuran sensornya, bukan sekedar berapa juta pikselnya
saja.
Megapiksel, atau resolusi sensor,
saat ini seperti jadi cara efektif untuk marketing. Maka itu ponsel berkamera
pun dibuat punya sensor yang megapikselnya tinggi. Pun demikian dengan kamera
saku sampai kamera canggih, semua berlomba menjual ‘megapiksel’ ini. Bayangkan
sensor kecil yang dijejali piksel begitu banyak, seperti apa rapat dan
sempitnya piksel-piksel itu berhimpit? Dibawah ini adalah contoh ilustrasi
ukuran sensor, dua di sebelah kiri (yang berwarna merah) adalah mewakili sensor
kecil, umumnya ditemui di kamera saku. Sensor kecil memang murah dalam hal
biaya produksi, dan bisa membuat bentuk kamera jadi sangat kecil.
Di sisi lain, ukuran sensor yang
lebih besar memang lebih mahal dan kamera/lensanya jadi lebih besar. Tapi
keuntungannya dengan luas penampang yang lebih besar, tiap piksel punya ukuran
yang lebih besar dan mampu menangkap cahaya dengan lebih baik. Maka itu saat
kondisi kurang cahaya, dimana kamera tentu akan menaikkan ISO (kepekaan
sensor), yang terjadi adalah hasil foto dari kamera dengan sensor besar punya
hasil foto yang lebih baik. Sedangkan di ISO tinggi, kamera sensor kecil akan
dipenuhi bercak noise yang mengganggu. Noise ini oleh kamera modern dicoba
untuk dikurangi secara otomatis (lewat prosesor kamera) namun yang terjadi
hasil fotonya jadi tidak natural seperti lukisan cat air.
Sensor
CMOS vs sensor CCD
Perbedaan utama desain CMOS dan CCD
adalah pada sirkuit digitalnya. Setiap piksel pada sensor CMOS sudah memakai
sistem chip yang langsung mengkonversi tegangan menjadi data, sementara
piksel-piksel pada sensor CCD hanya berupa photodioda yang mengeluarkan sinyal
analog (sehingga perlu rangkaian terpisah untuk merubah dari analog ke
digital/ADC). Anda mungkin penasaran mengapa banyak produsen yang kini
beralih ke sensor CMOS, padahal secara hasil foto sensor CCD juga sudah
memenuhi standar. Alasan utamanya menurut saya adalah soal kepraktisan, dimana
sekeping sensor CMOS sudah mampu memberi keluaran data digital siap olah
sehingga meniadakan biaya untuk membuat rangkaian ADC.
Selain itu sensor CMOS juga punya
kemampuan untuk diajak bekerja cepat yaitu sanggup mengambil banyak foto
dalam waktu satu detik. Ini tentu menguntungkan bagi produsen yang ingin
menjual fitur high speed burst. Faktor lain yang juga perlu
dicatat adalah sensor CMOS lebih hemat energi sehingga pemakaian baterai lebih
awet. Maka itu tak heran kini semakin banyak kamera digital (DSLR maupun kamera
saku) yang akhirnya beralih ke sensor CMOS. Adapun soal kemampuan sensor
CMOS dalam ISO tinggi pada dasarnya tak berbeda dengan sensor CCD dimana noise
yang ditimbulkan juga linier dengan kenaikan ISO. Kalau ada klaim sensor CMOS
lebih aman dari noise maka itu hanya kecerdikan produsen dalam mengatur noise
reduction.
Cara
sensor ‘menangkap’ warna
Sensor gambar pada dasarnya
merupakan perpaduan dari chip peka cahaya (untuk mendapat informasi terang
gelap) dan filter warna (untuk merekam warna seakurat mungkin). Di era
fotografi film, pada sebuah roll film terdapat tiga lapis emulsi yang peka
terhadap warna merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue). Di era digital, sensor
kamera memiliki bermacam variasi desain teknologi filter warna tergantung
produsennya dan harga sensornya. Cara kerja filter warna cukup simpel, misal
seberkas cahaya polikromatik (multi warna) melalui filter merah, maka warna
apapun selain warna merah tidak bisa lolos melewati filter itu. Dengan begitu
sensor hanya akan menghasilkan warna merah saja. Untuk mewujudkan jutaan
kombinasi warna seperti keadaan aslinya, cukup memakai tiga warna filter yaitu
RGB (sama seperti film) dan pencampuran dari ketiga warna komplementer itu bisa
menghasilkan aneka warna yang sangat banyak. Hal yang sama kita bisa jumpai
juga di layar LCD seperti komputer atau ponsel yang tersusun dari piksel RGB.
Bayer
CFA
Sesuai nama penemunya yaitu Bryce
Bayer, seorang ilmuwan dari Kodak pertama kali memperkenalkan teknik ini
di tahun 1970. Sensor dengan desain Bayer Color Filter Array (CFA)
termasuk sensor paling banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini.
Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik filter warna yang simpel
cukup satu lapis, namun sudah mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat
ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel pada dasarnya hanya
‘melihat’ satu warna, maka untuk bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu
dilakukan teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa
interpolasi (demosaicing). Perhatikan ilustrasi mosaik piksel di
bawah ini, ternyata filter warna hijau punya jumlah yang lebih banyak dibanding
warna merah dan biru. Hal ini dibuat mengikuti sifat mata manusia yang lebih
peka terhadap warna hijau.
Kekurangan sensor Bayer yang paling
disayangkan adalah hasil foto yang didapat dengan cara interpolasi tidak bisa
menampilkan warna sebaik aslinya. Selain itu kerap terjadi moire pada saat
sensor menangkap pola garis yang rapat seperti motif di kemeja atau pada
bangunan. Cara termudah mengurangi moire adalah dengan memasang filter low
pass yang bersifat anti aliasing, yang membuat ketajaman foto sedikit
menurun.
Sensor
X Trans
Sensor dengan nama X Trans
dikembangkan secara ekslusif oleh Fujifilm, dan digunakan pada beberapa kamera
kelas atas Fuji seperti X-E2 dan X-T1. Desain filter warna di sensor
X Trans merupakan pengembangan dari desain Bayer yang punya kesamaan bahwa
setiap piksel hanya bisa melihat satu warna. Bedanya, Fuji menata ulang susunan
filter warna RGBnya. Bila pada desain Bayer kita menemui dua piksel hijau, satu
merah dan satu biru pada grid 2×2, maka di sensor X Trans kita akan menemui
pola grid 6×6 yang berulang. Nama X trans sepertinya diambil dari susunan
piksel hijau dalam grid 6×6 yang membentuk huruf X seperti contoh di bawah ini.
Fuji mengklaim beberapa keunggulan
desain X Trans seperti :
- tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya sudah aman dari moire
- terhindar dari false colour, karena setiap baris piksel punya semua elemen warna RGB
- tata letak filter warna yang agak acak memberi kesan grain layaknya film
Sepintas kita bisa setuju kalau
desain X Trans lebih baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal yang masih jadi
kendala dari desain X Trans ini, yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan
memberikan lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya hanya pemilik
kamera Fuji tipe tertentu yang bisa menikmati sensor ini). Kendala lain adalah
sulitnya dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca file RAW dari sensor X
Trans ini.
Sensor
Foveon X3
Foveon sementara ini juga ekslusif dikembangakan untuk
kamera Sigma tipe tertentu. Dibanding sensor lain yang cuma punya satu lapis
filter warna, sensor Foveon punya tiga lapis filter warna yaitu lapisan merah,
hijau dan biru. Desain ini persis sama dengan desain emulsi warna pada roll
film foto. Hasil foto dari sensor Foveon memberikan warna yang akurat dan
cenderung vibrant, bahasa gampangnya seindah warna aslinya. Hal yang wajar
karena setiap photo detector di sensor Foveon memang menerima informasi warna
yang utuh dan tidak diperlukan lagi proses ‘menebak’ warna seperti sensor Bayer
atau X-Trans.
Yang jadi polemik dalam sensor
Foveon adalah jumlah piksel aktual. Misalnya ada tiga lapis filter warna yang
masing-masing berjumlah 3,4 juta piksel, maka Foveon menyebut sensornya adalah
sensor 10,2 MP karena didapat dari 3 lapis filter 3,4 MP. Ini agak rancu karena
saat foto yang dihasilkan dari sensor Foveon kita lihat ukuran pikselnya memang
hanya 2268 x 1512 piksel atau setara dengan 3,4 MP.
Salah satu kelemahan dari sensor
Foveon adalah noise yang sudah terasa mengganggu walau di ISO menengah seperti
ISO 800. Tapi seiring peningkatan teknologi pengurang noise maka hal ini
tidak akan jadi masalah serius di masa mendatang.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar